Saturday, December 7, 2019

Analisis Literatur Manajemen Resusitasi Trauma Kepala




Analisis Literatur

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu (Teranishi, Kohsuke et all, 2012). Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum (Appleby, Ian et all, 2010).

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler. Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll. Pemberian cairan-cairan Kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat) mempercepat koreksi hipovolemia. HOLCROFT menganjurkan pemberian RL 2000 ml secepat mungkin. Jika hemodinamik masih belum baik ditambah 1000 ml lagi dalam waktu 10 menit. Dengan demikian masa hipovolemia, vasokonstriksi, penurunan perfusi organ dan hipoksia jaringan dapat dipersingkat. Penelitian SHIRES dan CANIZARO yang dikutip EDDY R menunjukkan bahwa angka kematian karena syok hipovolemik perdarahan pada kelompok yang diberi ringer laktat disamping transfusi. Karena sebagian dari ringer laktat meresap keluar pembuluh darah maka Menurut Hukum Starling, ekspansi PV (20%) dan ISV (80%). Jumlah ringer laktat yang diperlukan 2-4 kali volume darah (Brasel, Karen et all, 2008. Guerrero, Egea et all, 2014).

Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat. Volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalu siklus krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik. Cairan koloid meiliki tekanan onkotik mirip plasa dan tinggal dalam pembuluh darah lebih lama. Devisit PV dan tekanan darah kembali normal lebih cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma protein (Albumin, Plasma Protein Fraction) dan bahan sistemik yakni plasma substitusi (dulu disebut Plasma Expander). Albumin adalah cairan yang paling fisiologis, tetapi harganya sangat mahal. Banyak peneliti menyatakan bahwa larutan albumin isotonis tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan RL atau plasma substitusi. Penggunaan NaCl hipertonis dengan kadar 7,5% dalam volume kecil untuk mengganti perdarahan mulai banyak diteliti (Brasel, Karen et all, 2008. Davis et all, 2012. Guerrero, Egea et all, 2014).



Strategi Penerapan

Paada Cedera Kepala Tingkat I Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau ringan, riwayat adanya amnesia (retrogradi) serta keluhan-keluhan lain yang berkiatan dengan peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada tidaknya trauma kepala. Sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonoasi akan berat ringannya konstruksi cedera kepala yang terjadi. Cedera Kepala Tingkat II Penanganan pertama selain mencakup anamnesa dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi komputer otak. Pada tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke 3 atau bila ada pemburukan neurologis. Cedera Kepala Tingkat III Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana sekalipun setelah stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih belum mencakup keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya adalah dikategorikan sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan “menunggu” (wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal (Appleby, Ian et all, 2010. Teranishi, Kohsuke et all, 2012). 

Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh tahap yaitu : Stabilitas kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-Circulating) Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala tingkat lanjut memerlukan intubasi. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya. Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih rendah (syok). Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya. Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat (R. Shayn Martin and J. Wayne Meredith). 

Pedoman umum penatalaksanaannya pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur : pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri. Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu (Damkliang, Jintana, et all. 2014).

Pada 24­48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500­2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida. Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel (Guerrero, Egea et all, 2014. Harris, Tim et all. 2012).

Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial. Cairan Koloid Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander” (Harris, Tim et all. 2012). Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar) dalam hal ini cairan koloid yang bisa digunakan adalah albumin (Davis et all, 2012).

Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera. Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid (Albumin) (Brasel, Karen et all, 2008. Davis et all, 2012. Harris, Tim et all. 2012).

Normal Saline Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154. Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml. Indikasi : Resusitasi Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler (Ogilvie, Michael et all, 2010). 

Konsep resusitasi cairan pada pasien perdarahan akut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada waktu perang Korea pengganti perdarahan dilakukan semata-mata dengan transfusi darah. Banyak kesulitan yanig dialami, selain penyediaan darah memang sulit, transfusi sendiri perlu waktu lama dibanding apa yang kita kerjakan sekarang dengan cairan yang dapat di berikan cepat. Dengan demikian “shock time” berlangsung panjang dengan akibat lactic acidosis dan cumulative oxygen debt tinggi dan angka kematian yang tinggi (Damkliang, Jintana, et all. 2014). Dari percobaan Wiggers dan pengembangan resusitasi dengan ringer laktat oleh Tom Shires dan kawan – kawan pada waktu perang Vietnam, terjadi perubahan prognosis berarti Ringer laktat atau cairan berisi Natrium lainnya dapat digunakan untuk mengganti darah yang hilang sampai suatu jumlah tertentu. Kasus – kasus perdarahan adalah sangat bervariasi. Ada berbagai mekanisme kehilangan darah yang pada akhirnya bermuara pada satu kesamaan yaitu syok hipovolemik. Resusitasi cairan cepat dapat mengatasi syok ini dengan cepat atau pada banyak kasus dimana cairan diberikan sejak awal, dapat mencegah terjadinya syok dengan segala konsekwensi metabolik dan biomolekuler yang mengiringinya. Penundaan resusitasi cairan cepat akan sangat merugikan karena membiarkan syok time berjalan lebih lama. Faktor – faktor yang selalu harus dipertimbangkan adalah seberapa lama kita boleh mentoleransi “shock time” dan hal ini tergantung pada fasilitas terapi definitif yang dapat kita siapkan dalam suatu waktu tertentu. Jika shock time diramalkan dapat menjadi panjang, mungkin lebih bijaksana jika kita memberikan resusitasi cairan dini untuk mengurangi atau menghilangkan syok. Batas waktu / golden periode satu jam untuk syok hendaknya menjadi pegagan utama. Yang dapat dipakai sebagai ekspander / substitut volume, selain darah adalah golongan kristaloid dan koloid (Guerrero, Egea et all, 2014). Golongan kristaloid yang paling mirip dengan cairan ektraseluler adalah Ringer laktat. Cairan ini mempunyai kadar – kadar fisiologis sesudah infus, setelah terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar pada pasien dengan kondisi seperti hipovolemi dengan asidosis metabolik, kombustio, sindroma syok, komponen bikarbonat memberikan efek dapar yang dibutuhkan untuk mengatasi asidosis. Larutan garam seimbang lain yang sekarang tersedia dibuat dengan memakai Natrium asetat (Ringer Asetat) sebagai ganti laktat (Brasel, Karen et all, 2008.).

Koloid (Albumin) dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efesien dari pada kristaloid dipasarkan terdapat berbagai macam koloid (Ogilvie, Michael et all, 2010). Penentuan pilihan yang rasional hendaknya berdasarkan fisiologi kompartemen cairan tubuh dan efek berbagai cairan intra vena terhadap masing-masing kompartemen. Penting pula memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam kompartemen kompartemen tersebut pada penyakit dan cedera. Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskuler. Darah dan produk darah seperti albumin menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar. Koloid artifial juga mengandung molekul besar seperti gelatin, dektran atau kanji hidrosietil. Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskuler, koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar dari pada plasma akan menarik pula cairan keruang intravaskuler. Ini dikenal sebagai ekspander plasma sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada yang diberikan (Davis et all, 2012. Guerrero, Egea et all, 2014).



Kesimpulan 

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil. Maka dalam hal ini diperlukan penatalaksanaan resusitasi yang baik untuk mencegah status vegetatif dari pasien dengan cedera kepala. Resusitasi dengan cara penggantian dan pemberian cairan. 

Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan. Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid (Saline) dan cairan koloid (Albumin).


Daftar Pustaka 

Appleby, Ian et all, 2010. Traumatic brain injury: initial resuscitation and transfer. ANAESTHESIA AND INTENSIVE CARE MEDICINE 9:5
Brasel, Karen et all, 2008. Hypertonic Resuscitation: Design and Implementation of a Prehospital Intervention Trial. 2008 by the American College of Surgeons ISSN 1072-7515/08/.Published by Elsevier Inc. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2007.07.020
Davis et all, 2012. What’s new in resuscitation strategies for the patient with multiple trauma? Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 1021–1028
Damkliang, Jintana, et all. 2014. Initial emergency nursing management of patients with severe traumatic brain injury:Development of an evidence-based carebundle for the Thai emergency department context. Australasian Emergency Nursing Journal
Dinh, Michael et al. 2013. Redefining the golden hour for severe head injury in an urban setting: The effect of prehospital arrival times on patient outcomes. Injury, Int. J. Care Injured 44 (2013) 606–610
Franschman et all, 2012. Effects of physician-based emergency medical service dispatch in severe traumatic brain injury on prehospital run time. Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 1838–1842
Guerrero, Egea et all, 2014. UPDATE Resuscitative goals and new strategies in severe trauma patient resuscitation. MEDINE-701; No. of Pages 11
Hall, Catherine et all, 1997. Patient management in head injury care: a nursing perspective Intensive and Critical Care Nursing (I 997) 13,329-337 © 1997 Harcourt Brace and Co. Ltd
R. Shayn Martin and J. Wayne Meredith. Management Of Acute Trauma. Chapter 18
SAFE, 2007. Saline or Albumin for Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic Brain Injury. The new england journal of medicine n engl j med 357;9 www.nejm.874 org august 30, 2007
Teranishi, Kohsuke et all, 2012. Traumatic brain injury and severe uncontrolled haemorrhage with short delay pre-hospital resuscitation in a swine model. Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 585–593
Harris, Tim et all. 2012. Early fluid resuscitation in severe trauma. doi: 10.1136/bmj.e5752 (Published 11 September 2012)
Ogilvie, Michael et all, 2010. First Report on Safety and Efficacy of Hetastarch Solution for Initial Fluid Resuscitation at a Level 1 Trauma Center. ISSN 1072-7515/10/$36.00. Published by Elsevier Inc. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2010.01.010
Singh, Prakash, et all 2005. Intravenous fluid Considerations in the Resuscitation of a Head Injured Patient. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2005, Vol. 2, No. 2, pp. 87-90

No comments:

Post a Comment