Analisis
literatur
Banyak
data dari penelitian yang telah dilakukan baik dari asia, eropa, dan amerika
terkait bagaimana meningkatkan bystander CPR, Menurut Sasson (2013) berdasarkan
guidelines AHA 2010 ada empat langkah penting yang terlibat dalam memberikan
bystander CPR sebagai bagian dari respon tanggap darurat masyarakat sebagai
materi pelatihan bystander CPR. Pertama, penolong harus menyadari bahwa korban
membutuhkan bantuan. Early recognition yang dilakukan oleh penolong atau
bystander adalah menyadari bahwa korban telah mengalami serangan henti jantung,
atau secara sederhananya mengenali bahwa korban membutuhkan bantuan dari
Emergency Medical Services (EMS). Kedua, penolong dengan segera harus memanggil
nomor akses EMS setempat. Ketiga, panggilan tersebut akan dialihkan ke
dispatcher, yang harus mengidentifikasi bahwa serangan henti jantung memamg
telah terjadi pada korban dan akan memproses respon EMS yang sesuai. Operator
atau dispatcher akan menyediakan instruksi CPR yang memandu penolong untuk
melakukan CPR. Untuk selanjutnya, yang keempat penolong akan memulai dan terus
melakukan CPR pada korban OHCA sampai bantuan datang.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Rossler (2013) yang dilatarbelakangi dari sejarah Bantuan
Hidup dasar (BLS) sejak 1950, telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
bystander CPR. Meskipun bystander CPR terbukti mampu meningkatkan ketahanan
hidup pada pasien dengan henti jantung dengan mengikuti rantai prosedural AHA
2010, namun angka inisiatif dari bystander CPR masih rendah sekitar 20% dari
kejadian. Hal ini dari ketidakpercayaan diri dan ketakutan akan terjadi
kesalahan pada prosedur CPR. Hal utama dalam penelitian ini adalah penggunaan
evaluasi Hand Of Time (HOT) dengan membandingkan peserta yang diberikan
algoritma dengan tidak. Hasil yang didapatkan terdapat peningkatan HOT pada
peserta yang tidak memakai algoritme, sedangkan pada peserta yang memakai
algoritme lebih percaya diri dan memiliki ketepatan prosedural pada penanganan henti
jantung. Dari hasil ini dapat menjadi gambaran bagaimana seharusnya pelaksanaan
pelatihan dengan menggunakan algoritme saat proses pembelajarn secara periodik
agar meningkatkan tingkat percaya diri bystander CPR.
Penilaian
awal pada orang yang membutuhkan CPR dengan OHCA harus sering dilatih menuju
kearah situasi kritis dengan kemungkinan bertahan yang rendah. Dengan demikian
bystander dapat tetap tenang bila melakukan di keadaan nyata dengan keadaan
orang yang kritis. Jeda waktu sebelum saatnya pemberian DC shock seharusnya
lebih banyak dilakukan CPR oleh bystander yang telah memiliki kemampuan. Ada
beberapa pasien yang telah dilakukan CPR dengan keadaan mereka tua, terbanyak
wanita, waktu OHCA lama dan terbuang dirumah, banyak ditemukan dengan VF dan
banyak waktu terbuang dari perjalanan ambulan. Kesimpulan dari penelitian ini
terjadi peningkatan bystander CPR pada OHCA. Bystander CPR telah mendapatkan
hasil yang positif pada VF dan peningkatan kemampuan bertahan (nordberg, 2009).
Strategi
Penerapan
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di japan terkait bagaimana meningkatkan kemampuan dan
kemauan dari bystander CPR pada tahun 2011 yang dilakukan di Takatsuki yang
dianalisis berdasarkan hasil kejadian dari sistem EMS. Pelatihan bagi bystander
CPR harus menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat, ada beberapa strategi yang
dapat diterapkan pada pelatihan CPR. Salah satunya dengan pelaksanaan waktu
singkat dan efisiensi pelatihan dengan menggunakan video pembelajaran, manikin
orang, atau tempat latihan CPR sederhana seharusnya dapat meningkatkan
kemampuan dari bystander CPR. Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan kemauan
dari bystander CPR diantaranya panik, takut terjadi kesalahan, malu dan
sebagainya (tanigawa, 2011). Pelatihan CPR diharapkan tidak lagi menggunakan
metode clasical dengan metode belajar yang hanya 1 arah dan tanpa pengulangan.
Bila menggunakan waktu yang singkat harus diimbangi dengan metode belajar yang
dapat diulangi lagi dengan media video.
Tehnik
dengan metode pembelajaran atau pelatihan dengan memanfaatkan teknologi
terkomputerisasi menggunakan media video. Metode ini yang bisa dilakukan sangat
bisa untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas adalah melalui program
computer-based cardiopulmonary resuscitation (CPR). Program ini telah digunakan
oleh National Safety Council (NSC) pada Januari 2000. Program ini berbeda
dengan program pelatihan konvensional baik dari metode pelatihan dan pemberian
sertifikat. Dengan program computer-based CPR setiap peserta pelatihan dapat
mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan di area manapun yang mempunyai
koneksi internet, tanpa harus datang ke tempat tertentu. Program pelatihan
computer-based ini terbukti menjadi pilihan efektif untuk melatih masyarakat
awam tentang CPR (Perkins et al, 2012).Terdapat berbagai hal yang positif dan
negatif dari metode sistem pelatihan per area ini. Hasil yang positif dari
metode ini masyarakat dapat sangat mudah untuk menentukan tempat dan waktu
pelatihan yang akan diikuti. Sehingga memudahkan dalam hal pencarian waktu yang
tepat terkait padatnya aktivitas masyarakat. Hasil yang negatif dapat ditemukan
perbedaan tingkat kemampuan dari peserta, karena kondisi dari satu area dengan
area yang lain berbeda. Namun hal ini dapat diatasi dengan adanya standart yang
diberlakukan pada jenis, media dan pelatih yang akan digunakan ditiap area.
Dari
gambaran diatas sudah seharusnya Indonesia menerapkan peningkatan pelatihan
bagi bystander CPR. Strategi yang dilakukan dengan penyingkatan waktu, efisien
terhadap materi, penggunaan media teknologi, dan tepat sasaran pada kelompok
tertentu. Saat ini di Indonesia yang belum terlaksana adalah penggunaan
teknologi sebagai media pelatihan. Sudah seharusnya beralih dari clasical
metode ke modern metode dengan pemanfaatan media elektronik. Penggunaan metode
video dapat disesuaikan dengan kemampuan dari bystander CPR, misalnya pada
siswa sekolah dengan pemutaran video tentang indikasi henti jantung, harus
dibedakan dengan peserta yang dari kalangan pegawai menggunakan video tentang
indikasi dan pelaksanaan dan juga harus disertai dengan praktek ke manikin
orang atau manikin CPR. Pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan saja belum cukup
bila sarana dan prasarana yang disediakan belum mencukupi, hal ini terkait
sistem EMS yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik di Indonesia.
Pada
tahap evaluasi dari pelatihan atau pun pelaksanaan dari bystander CPR dapat
menggunakan sistem HOT (Hand Of Time). Kriteria hasil utama adalah hanya 5
menit HOT pada menikin CPR. Hasil yang kedua adalah mengevaluasi HOT, apakah
HOT dilaksanakan pada set pertama pada kompresi dada atau akhir dari
pelaksanaan kompresi dada. HOT disini mengindikasikan kurangnya kemauan
bystander CPR dalam memberikan pertolongan pada henti jantung. Hal ini bisa
dilihat bila pada pertengahan siklus CPR bystander melepaskan tangan sebagai
wujud dari lelah, takut mencederai, atau kurang percaya diri dll. Berdasarkan
hal ini lah proses pelatihan dapat memfokuskan arti dari HOT agar tetap terjadi
recoil dari CPR sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan untuk memberikan
oksegenasi pada paru, jantung dan otak (Rossler, 2013).
Kesimpulan
Pemberian
bantuan hidup dasar (BLS) pada orang yang mengalami henti jantung berupa
kompresi dada (CPR) yang dilakukan oleh bystander atau penolong saat menemui
adanya serangan henti jantung sangat membantu kemungkinan bertahan hidup korban
2–3 kali lipat. Berdasarkan HIPGABI dalam pelatihanya disampaikan bahwa
keterlambatan memberikan BLS dalam 1 menit kemungkinan berhasil 98–100%, 3
menit kemungkinan berhasil 50–100%, 10 menit kemungkinan berhasil 1–100%. Oleh
karena itulah sangat dibutuhkan sekali peningkatan jumlah dan kesiapsiagaan
bystander CPR untuk memberikan pertolongan pada korban henti jantung di situasi
OHCA. Beberapa program clasical masih dapat dilakukan antara lain penyebaran
informasi melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum,
tempat kerja, maupun sekolah. Program lainnya dengan pemanfaatan teknologi
adalah dengan peningkatan keterampilan bystander CPR melalui metode pelatihan
modern dengan pemanfaatan video dan e-learning. Hasil yang dievaluasi melalui
sistem HOT (Hand Of Time) dengan mengobservasi pelaksanaan bystander CPR.
Diharapkan hasil evaluasi dari HOT dapat menurun sehingga tercapai re-coil
dinding dada.
Daftar
Pustaka
GELS.(2011).
Pelatihan GELS (General Emergency Life Support). Medis Teknis Standart. RSU Dr.
Soetomo-FK UNAIR Surabaya.
HIPGABI.(2012).
Kumpulan Materi Pelatihan Emergency Nursing. Intermediate Level. HIPGABI :
Jakarta.
Nordberg,
Paul et al. (2009). Aspects on the increase in bystander CPR in Sweden and its
association with outcome. Published by Elsevier Ireland Ltd.
doi:10.1016/j.resuscitation.2008.11.013
Perkins
et al. (2012). Improving the Efficiency of Advanced Life Support Training. Ann
Intern Med. 157. p: 19-28.
Rossler,
B et al. (2013). Can a flowchart improve the quality of bystander
cardiopulmonary resuscitation?. 2013 Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved.
http://dx.doi.org/10.1016/j.resuscitation.2013.01.001
Sasson,
Comilla et al. (2013). Increasing cardiopulmonary resuscitation provision in
communities with low bystander cardiopulmonary resuscitation rates.
Circulation.127:1-9. DOI: 10.1161/CIR.0b013e318288b4dd.
Tanigawa,
Kayo et al. (2011). Are trained individuals more likely to perform bystander
CPR?. Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved.
doi:10.1016/j.resuscitation.2011.01.027
No comments:
Post a Comment