Thursday, November 21, 2019

Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknologi


Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknologi
Yang di Evaluasi Dengan Sistem HOT

Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknologi  Yang di Evaluasi Dengan Sistem HOT
https://pixabay.com/id/photos/darurat-jantung-penyelamatan-3016877/

Abstrak

LatarBelakang : Kejadian henti jantung dapat terjadi di waktu dan tempat yang tidak terduga. Terhentinya sirkulasi dan ventilasi jantung  membutuhkan tindakan segera berupa pemberian CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation). Tindakan CPR merupakan upaya pemenuhan oksigen dalam darah melalui pijat jantung dan bantuan nafas baik manual maupun dengan alat bantu. Pelaksanaan tindakan CPR sebagai metode pertolongan pertama kepada henti jantung, dapat dilakukan oleh orang pertama dan terdekat yang memiliki kompetensi pemberian CPR (Bystander CPR). Peningkatan Bystander CPR dilakukan melalui pelatihan CPR khusus awam, metode yang digunakan sebagai media pelatihan dengan pemanfaatan media teknologi. Pelatihan CPR awam memerlukan metode evaluasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas pemberian CPR oleh awam. Evaluasi dengan sistem HOT (Hand of Time) dapat dilakukan sebagai satu metode evaluasi dalam pelatihan Bystander CPR. Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknolog Yang di Evaluasi Dengan Sistem HOT dinilai cukup efektif.

Metode : Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka, sedangkan tujuan penelitian ini mengumpulkan dan menganalisis artikel yang berkaitan dengan Peningkatan Bystander CPR. Cara pengumpulan data dengan database elektronik yang dilakukan oleh EBSCO, Proquest dan clinicalkey dan menggunakan kata kunci CPR and Bystander CPR and HOT. Kriteria dari articlets diterbitkan pada periode 2005-2014.

Hasil : Penyebarluasan pendidikan publik dan peningkatan ketrampilan masyarakat tentang CPR bisa meningkatkan jumlah bystander CPR di kalangan masyarakat. Sehingga ketika menjumpai pasien dengan henti jantung, masyarakat dapat segera siap siaga untuk mengenali tanda dan gejala pasien dan segera memberikan penanganan CPR sambil menunggu pertolongan dari rumah sakit datang. Dengan begitu dapat berpengaruh pada peningkatan survival rate dari pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (OHCA).

Kesimpulan : Beberapa program clasical masih dapat dilakukan antara lain penyebaran informasi melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat kerja, maupun sekolah. Program lainnya dengan pemanfaatan teknologi adalah dengan peningkatan keterampilan bystander CPR melalui metode pelatihan modern dengan pemanfaatan video dan e-learning. Hasil yang dievaluasi melalui sistem HOT (Hand Of Time) dengan mengobservasi pelaksanaan bystander CPR. Diharapkan hasil evaluasi dari HOT dapat menurun sehingga tercapai re-coil dinding dada.

Kata Kunci : Bystander CPR, Media Pelatihan, Evaluasi system HOT


Latar Belakang

Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki cadangan oksigen. Pada keadaan gagal nafas karena obstruksi atau ketidakmampuan paru berekspansi maka oksigen dalam paru akan habis dalam waktu 1,5–2 menit dan sementara tidak ada oksigen yang masuk, maka metabolisme tubuh memanfaatkan oksigen darah yang akan habis dalam waktu 4–5 menit, kemudian jantung berhenti dan beberapa detik kemudian otak mengalami kerusakan irreversible. Jantung dan Otak adalah dua organ fital manusia, bila kedua organ ini tidak mendapatkan oksigen maka akan terjadi kematian sel (GELS, 2011. HIPGABI, 2012). 
Kehabisan oksigen dalam paru dan dalam darah dapat berlangsung lebih cepat lagi bila ternyata keadaan pasien sudah dalam keadaan hipoksia sebelumnya. Berdasarkan hal ini kebutuhan oksigen bagi tubuh sangat penting terutama untuk memanjangkan waktu pemakaian oksigen, oleh karena itu diperlukan resusitasi pada jantung, paru dan otak. Tindakan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) adalah terjemahan dalam bahasa indonesia, namun yang sering dipakai adalah Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR). Tindakan CPR ini merupakan gambaran pemenuhan oksigen dalam darah melalui pijat jantung dan bantuan nafas baik manual maupun dengan alat bantu.

Indikasi yang jelas pada keadaan henti nafas lalu henti jantung pada keadaan yang perlu bantuan hidup dasar. Tujuan dari pemberian bantuan hidup dasar ini adalah mencegah berhentinya sirkulasi, memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi. Tindakan bantuan hidup dasar ini adalah bagian dari CPR 2012. Guideline CPR 2010 saat jantung mungkin belum berhenti sama sekali, mungkin jantung masih berdenyut tetapi lemah dan mulai melambat (severe bradycardia) diharapkan jantung sudah dipijat cukup berdasarkan pemeriksaan pasien tidak sadar dan tidak bernafas. Bantuan tindakan ini harus segera dilakukan pijat jantung (chest compression) sebelum 5 menit jaringan otak terlanjur menjadi rusak dan irreversible, bahkan kalau terpaksa dilakukan pijat jantung saja tanpa nafas bantuan (chest compression-only CPR). 
Tindakan bantuan hidup dasar ini boleh dilakukan oleh orang awam, siapa saja yang telah mendapatkan pelatihan bantuan hidup dasar. Diwajibkan segera meminta bantuan untuk kemudian dapat dilanjutkan oleh tenaga ahli dengan pemasangan alat bantu jalan nafas atau intubasi, monitoring EKG, pemberian obat serta penggunaan defibrilator.

Dalam 3 dekade terakhir angka kematian banyak di sebabkan karena artery coronary disease saat diluar Rumah Sakit secara tiba-tiba dan hampir 50.000 kejadian henti jantung terdokumentasi tiap tahun di japan. Angka kematian henti jantung diluar RS (OHCA) adalah kasus klinik yang menjadi salah satu terpenting. Hal ini menjadi dasar tindakan resusitasi pada kejadian OHCA yang tergantung dari inisiasi awal CPR dan defibrilasi dan CPR oleh bystander seharusnya dapat meningkatkan peluang hidup bagi pasien. Meskipun efektifitas dari Bystander CPR masih diragukan, sebenarnya CPR oleh bystander harus dirutinkan. 
Data dari penelitian sebelumnya yang mengindikasikan Pelatihan CPR mampu meningkatkan kesediaan untuk melakukan CPR dan ini ikut meningkatkan angka pertolongan oleh bystander CPR. Untuk meningkatkan bystander CPR, unsurnya dari memfokuskan pelatihan CPR dan meluaskan program pelatihan CPR setiap 1.620.000 orang per tahun di japan. Walaupun begitu, banyak data menunjukkan efektifitas dari pelatihan CPR dievaluasi dari pertunjukan kemampuan CPR atau Kebenaran dalam melakukan CPR dan sedikit dari efektifitas itu dari kemampuan penolong pada keadaan emergensi atau pada pasien dengan OHCA (tanigawa, 2011). Dari gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan sebenarnya kejadian henti jantung dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Hal ini yang mendasari harus dibentuknya bystander CPR sebagai penolong pertama pada keadaan henti jantung. Tentunya pembentukan bystander CPR ini melalui pelatihan secara rutin dan pemilihan bystander sesuai dengan kemampuan dan kemauan.

Manfaat
Masyarakat yang telah mendapatkan pelatihan CPR memiliki peningkatan kemauan melakukan CPR dari pada yang belum mendapatkan pelatihan (tanigawa, 2011). Hasil dari penelitian di japan ini dapat menjadi realita masyarakat yang telah memiliki kemampuan melakukan CPR akan memiliki kemauan untuk menolong bila ada dalam keadaan ada orang yang mengalami henti jantung. Tentunya tidak semua masyarakat diberikan pelatihan CPR tapi harus memiliki sasaran masyarakat untuk pendidikan publik dan ketrampilan CPR dapat ditujukan untuk masyarakat di tempat-tempat umum (bandara, stasiun, terminal, pasar), anak sekolah maupun di tempat kerja.

Harapannya, dengan penyebarluasan pendidikan publik dan peningkatan ketrampilan masyarakat tentang CPR bisa meningkatkan jumlah bystander CPR di kalangan masyarakat. Sehingga ketika menjumpai pasien dengan henti jantung, masyarakat dapat segera siap siaga untuk mengenali tanda dan gejala pasien dan segera memberikan penanganan CPR sambil menunggu pertolongan dari rumah sakit datang. Dengan begitu dapat berpengaruh pada peningkatan survival rate dari pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (OHCA). Pelaksanaan bantuan hidup dasar pada henti jantung memiliki prosedural yang sesuai dengan guideline AHA 2010 diantaranya penilaian awal apakah terjadi henti jantung, mengaktifkan EMS, tindakan dini pelaksanaan CPR, dan segera defibrilasi bila ada indikasi. Bystander CPR yang telah mendapatkan pelatihan BLS/ bantuan hidup dasar akan melaksanakan secara otomatis prosedural tindakan penanganan henti jantung.


No comments:

Post a Comment