Analisis
Literatur
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen
dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia
menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan
oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu (Teranishi, Kohsuke et all,
2012). Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel
yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi
karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena
aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala
harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik
tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan
otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium,
foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum (Appleby, Ian et all,
2010).
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan
akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang
menimbulkan kematian. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak
tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu
darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi
Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler. Penurunan CPP kurang dari
70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik –
kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
Pemberian cairan-cairan Kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat) mempercepat
koreksi hipovolemia. HOLCROFT menganjurkan pemberian RL 2000 ml secepat
mungkin. Jika hemodinamik masih belum baik ditambah 1000 ml lagi dalam waktu 10
menit. Dengan demikian masa hipovolemia, vasokonstriksi, penurunan perfusi
organ dan hipoksia jaringan dapat dipersingkat. Penelitian SHIRES dan CANIZARO
yang dikutip EDDY R menunjukkan bahwa angka kematian karena syok hipovolemik
perdarahan pada kelompok yang diberi ringer laktat disamping transfusi. Karena
sebagian dari ringer laktat meresap keluar pembuluh darah maka Menurut Hukum
Starling, ekspansi PV (20%) dan ISV (80%). Jumlah ringer laktat yang diperlukan
2-4 kali volume darah (Brasel, Karen et all, 2008. Guerrero, Egea et all,
2014).
Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat.
Volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan,
sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang.
Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam
laktat melalu siklus krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis
metabolik. Cairan koloid meiliki tekanan onkotik mirip plasa dan tinggal dalam
pembuluh darah lebih lama. Devisit PV dan tekanan darah kembali normal lebih
cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma protein (Albumin,
Plasma Protein Fraction) dan bahan sistemik yakni plasma substitusi (dulu
disebut Plasma Expander). Albumin adalah cairan yang paling fisiologis, tetapi
harganya sangat mahal. Banyak peneliti menyatakan bahwa larutan albumin
isotonis tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan RL atau plasma
substitusi. Penggunaan NaCl hipertonis dengan kadar 7,5% dalam volume kecil
untuk mengganti perdarahan mulai banyak diteliti (Brasel, Karen et all, 2008.
Davis et all, 2012. Guerrero, Egea et all, 2014).
Strategi
Penerapan
Paada
Cedera Kepala Tingkat I Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan
jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau ringan, riwayat
adanya amnesia (retrogradi) serta keluhan-keluhan lain yang berkiatan dengan
peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah.
Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada tidaknya trauma kepala.
Sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonoasi akan berat
ringannya konstruksi cedera kepala yang terjadi. Cedera Kepala Tingkat II
Penanganan pertama selain mencakup anamnesa dan pemeriksaan fisik serta foto
polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi komputer otak. Pada
tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan
di rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
sekali, sedangkan follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke 3 atau
bila ada pemburukan neurologis. Cedera Kepala Tingkat III Penderita kelompok
ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana sekalipun setelah
stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih belum mencakup
keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya adalah dikategorikan
sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas, dimana tindakan “menunggu” (wait and see) disini dapat berakibat
sangat fatal (Appleby, Ian et all, 2010. Teranishi, Kohsuke et all,
2012).
Penanganan
kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh tahap yaitu : Stabilitas
kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-Circulating)
Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat
peninggian tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
Semua penderita cedera kepala tingkat lanjut memerlukan intubasi. Pemeriksaan
umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian
tubuh lainnya. Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian
neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih rendah (syok).
Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya. Pemberian pengobatan seperti :
antiedema serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat (R. Shayn Martin and J. Wayne
Meredith).
Pedoman
umum penatalaksanaannya pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,
lakukan foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. Pada semua pasien dengan
cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur : pasang jalur intravena
dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet : cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan
hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri. Lakukan pemeriksaan
hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah : glukosa,
ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu (Damkliang, Jintana, et all. 2014).
Pada
2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan
kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis
dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang
terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi
bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik
(delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma
akibat peningkatan klorida. Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid
dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan
di ruang interstitiel (Guerrero, Egea et all, 2014. Harris, Tim et all. 2012).
Pada
suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial. Cairan Koloid Disebut juga sebagai cairan pengganti
plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander” (Harris,
Tim et all. 2012). Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai
berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar)
dalam hal ini cairan koloid yang bisa digunakan adalah albumin (Davis et all,
2012).
Mekanisme
secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen
intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua
kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap
berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari
volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi
sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien
yang membutuhkan cairan segera. Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari
intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi
kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan
penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid
(Albumin) (Brasel, Karen et all, 2008. Davis et all, 2012. Harris, Tim et all.
2012).
Normal
Saline Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154. Kemasan : 100, 250, 500, 1000
ml. Indikasi : Resusitasi Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh
darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen
interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena
gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan elektrolit
yang hilang pada intravaskuler (Ogilvie, Michael et all, 2010).
Konsep
resusitasi cairan pada pasien perdarahan akut telah mengalami beberapa kali
perubahan. Pada waktu perang Korea pengganti perdarahan dilakukan semata-mata
dengan transfusi darah. Banyak kesulitan yanig dialami, selain penyediaan darah
memang sulit, transfusi sendiri perlu waktu lama dibanding apa yang kita
kerjakan sekarang dengan cairan yang dapat di berikan cepat. Dengan demikian
“shock time” berlangsung panjang dengan akibat lactic acidosis dan cumulative
oxygen debt tinggi dan angka kematian yang tinggi (Damkliang, Jintana, et all.
2014). Dari percobaan Wiggers dan pengembangan resusitasi dengan ringer laktat
oleh Tom Shires dan kawan – kawan pada waktu perang Vietnam, terjadi perubahan
prognosis berarti Ringer laktat atau cairan berisi Natrium lainnya dapat
digunakan untuk mengganti darah yang hilang sampai suatu jumlah tertentu. Kasus
– kasus perdarahan adalah sangat bervariasi. Ada berbagai mekanisme kehilangan
darah yang pada akhirnya bermuara pada satu kesamaan yaitu syok hipovolemik.
Resusitasi cairan cepat dapat mengatasi syok ini dengan cepat atau pada banyak
kasus dimana cairan diberikan sejak awal, dapat mencegah terjadinya syok dengan
segala konsekwensi metabolik dan biomolekuler yang mengiringinya. Penundaan
resusitasi cairan cepat akan sangat merugikan karena membiarkan syok time
berjalan lebih lama. Faktor – faktor yang selalu harus dipertimbangkan adalah
seberapa lama kita boleh mentoleransi “shock time” dan hal ini tergantung pada
fasilitas terapi definitif yang dapat kita siapkan dalam suatu waktu tertentu.
Jika shock time diramalkan dapat menjadi panjang, mungkin lebih bijaksana jika
kita memberikan resusitasi cairan dini untuk mengurangi atau menghilangkan
syok. Batas waktu / golden periode satu jam untuk syok hendaknya menjadi
pegagan utama. Yang dapat dipakai sebagai ekspander / substitut volume, selain
darah adalah golongan kristaloid dan koloid (Guerrero, Egea et all, 2014).
Golongan kristaloid yang paling mirip dengan cairan ektraseluler adalah Ringer
laktat. Cairan ini mempunyai kadar – kadar fisiologis sesudah infus, setelah
terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat dapat
diberikan dengan aman dalam jumlah besar pada pasien dengan kondisi seperti
hipovolemi dengan asidosis metabolik, kombustio, sindroma syok, komponen
bikarbonat memberikan efek dapar yang dibutuhkan untuk mengatasi asidosis.
Larutan garam seimbang lain yang sekarang tersedia dibuat dengan memakai
Natrium asetat (Ringer Asetat) sebagai ganti laktat (Brasel, Karen et all,
2008.).
Koloid
(Albumin) dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efesien
dari pada kristaloid dipasarkan terdapat berbagai macam koloid (Ogilvie,
Michael et all, 2010). Penentuan pilihan yang rasional hendaknya berdasarkan
fisiologi kompartemen cairan tubuh dan efek berbagai cairan intra vena terhadap
masing-masing kompartemen. Penting pula memahami perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kompartemen kompartemen tersebut pada penyakit dan cedera. Koloid
adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan
tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam
ruang intravaskuler. Darah dan produk darah seperti albumin menghasilkan
tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar. Koloid artifial juga
mengandung molekul besar seperti gelatin, dektran atau kanji hidrosietil.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskuler, koloid
yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar dari pada plasma akan menarik pula
cairan keruang intravaskuler. Ini dikenal sebagai ekspander plasma sebab
mengekspansikan volume plasma lebih dari pada yang diberikan (Davis et all,
2012. Guerrero, Egea et all, 2014).
Kesimpulan
Cedera
kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Status vegetatif kronis
merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan
siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini merupakan akibat
yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Jika status vegetatif
terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk
sadar kembali sangat kecil. Maka dalam hal ini diperlukan penatalaksanaan
resusitasi yang baik untuk mencegah status vegetatif dari pasien dengan cedera
kepala. Resusitasi dengan cara penggantian dan pemberian cairan.
Tubuh
mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh didalamnya
terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel,
sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan. Terapi cairan parenteral
digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan volume dan komposisi normal
cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia
dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa
diberikan untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid (Saline) dan cairan
koloid (Albumin).
Daftar
Pustaka
Appleby,
Ian et all, 2010. Traumatic brain injury: initial resuscitation and transfer.
ANAESTHESIA AND INTENSIVE CARE MEDICINE 9:5
Brasel,
Karen et all, 2008. Hypertonic Resuscitation: Design and Implementation of a
Prehospital Intervention Trial. 2008 by the American College of Surgeons ISSN
1072-7515/08/.Published by Elsevier Inc. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2007.07.020
Davis
et all, 2012. What’s new in resuscitation strategies for the patient with
multiple trauma? Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 1021–1028
Damkliang,
Jintana, et all. 2014. Initial emergency nursing management of patients with
severe traumatic brain injury:Development of an evidence-based carebundle for
the Thai emergency department context. Australasian Emergency Nursing Journal
Dinh,
Michael et al. 2013. Redefining the golden hour for severe head injury in an
urban setting: The effect of prehospital arrival times on patient outcomes.
Injury, Int. J. Care Injured 44 (2013) 606–610
Franschman
et all, 2012. Effects of physician-based emergency medical service dispatch in
severe traumatic brain injury on prehospital run time. Injury, Int. J. Care
Injured 43 (2012) 1838–1842
Guerrero,
Egea et all, 2014. UPDATE Resuscitative goals and new strategies in severe
trauma patient resuscitation. MEDINE-701; No. of Pages 11
Hall,
Catherine et all, 1997. Patient management in head injury care: a nursing
perspective Intensive and Critical Care Nursing (I 997) 13,329-337 © 1997
Harcourt Brace and Co. Ltd
R.
Shayn Martin and J. Wayne Meredith. Management Of Acute Trauma. Chapter 18
SAFE,
2007. Saline or Albumin for Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic
Brain Injury. The new england journal of medicine n engl j med 357;9
www.nejm.874 org august 30, 2007
Teranishi,
Kohsuke et all, 2012. Traumatic brain injury and severe uncontrolled
haemorrhage with short delay pre-hospital resuscitation in a swine model.
Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 585–593
Harris,
Tim et all. 2012. Early fluid resuscitation in severe trauma. doi:
10.1136/bmj.e5752 (Published 11 September 2012)
Ogilvie,
Michael et all, 2010. First Report on Safety and Efficacy of Hetastarch
Solution for Initial Fluid Resuscitation at a Level 1 Trauma Center. ISSN
1072-7515/10/$36.00. Published by Elsevier Inc.
doi:10.1016/j.jamcollsurg.2010.01.010
Singh,
Prakash, et all 2005. Intravenous fluid Considerations in the Resuscitation of
a Head Injured Patient. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2005, Vol. 2, No.
2, pp. 87-90