Saturday, December 7, 2019

Analisis Literatur Manajemen Resusitasi Trauma Kepala




Analisis Literatur

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu (Teranishi, Kohsuke et all, 2012). Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum (Appleby, Ian et all, 2010).

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler. Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll. Pemberian cairan-cairan Kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat) mempercepat koreksi hipovolemia. HOLCROFT menganjurkan pemberian RL 2000 ml secepat mungkin. Jika hemodinamik masih belum baik ditambah 1000 ml lagi dalam waktu 10 menit. Dengan demikian masa hipovolemia, vasokonstriksi, penurunan perfusi organ dan hipoksia jaringan dapat dipersingkat. Penelitian SHIRES dan CANIZARO yang dikutip EDDY R menunjukkan bahwa angka kematian karena syok hipovolemik perdarahan pada kelompok yang diberi ringer laktat disamping transfusi. Karena sebagian dari ringer laktat meresap keluar pembuluh darah maka Menurut Hukum Starling, ekspansi PV (20%) dan ISV (80%). Jumlah ringer laktat yang diperlukan 2-4 kali volume darah (Brasel, Karen et all, 2008. Guerrero, Egea et all, 2014).

Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat. Volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalu siklus krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik. Cairan koloid meiliki tekanan onkotik mirip plasa dan tinggal dalam pembuluh darah lebih lama. Devisit PV dan tekanan darah kembali normal lebih cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma protein (Albumin, Plasma Protein Fraction) dan bahan sistemik yakni plasma substitusi (dulu disebut Plasma Expander). Albumin adalah cairan yang paling fisiologis, tetapi harganya sangat mahal. Banyak peneliti menyatakan bahwa larutan albumin isotonis tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan RL atau plasma substitusi. Penggunaan NaCl hipertonis dengan kadar 7,5% dalam volume kecil untuk mengganti perdarahan mulai banyak diteliti (Brasel, Karen et all, 2008. Davis et all, 2012. Guerrero, Egea et all, 2014).



Strategi Penerapan

Paada Cedera Kepala Tingkat I Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau ringan, riwayat adanya amnesia (retrogradi) serta keluhan-keluhan lain yang berkiatan dengan peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada tidaknya trauma kepala. Sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonoasi akan berat ringannya konstruksi cedera kepala yang terjadi. Cedera Kepala Tingkat II Penanganan pertama selain mencakup anamnesa dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi komputer otak. Pada tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke 3 atau bila ada pemburukan neurologis. Cedera Kepala Tingkat III Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana sekalipun setelah stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih belum mencakup keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya adalah dikategorikan sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan “menunggu” (wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal (Appleby, Ian et all, 2010. Teranishi, Kohsuke et all, 2012). 

Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh tahap yaitu : Stabilitas kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-Circulating) Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala tingkat lanjut memerlukan intubasi. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya. Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih rendah (syok). Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya. Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat (R. Shayn Martin and J. Wayne Meredith). 

Pedoman umum penatalaksanaannya pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur : pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri. Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu (Damkliang, Jintana, et all. 2014).

Pada 24­48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500­2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida. Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel (Guerrero, Egea et all, 2014. Harris, Tim et all. 2012).

Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial. Cairan Koloid Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander” (Harris, Tim et all. 2012). Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar) dalam hal ini cairan koloid yang bisa digunakan adalah albumin (Davis et all, 2012).

Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera. Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid (Albumin) (Brasel, Karen et all, 2008. Davis et all, 2012. Harris, Tim et all. 2012).

Normal Saline Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154. Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml. Indikasi : Resusitasi Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler (Ogilvie, Michael et all, 2010). 

Konsep resusitasi cairan pada pasien perdarahan akut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada waktu perang Korea pengganti perdarahan dilakukan semata-mata dengan transfusi darah. Banyak kesulitan yanig dialami, selain penyediaan darah memang sulit, transfusi sendiri perlu waktu lama dibanding apa yang kita kerjakan sekarang dengan cairan yang dapat di berikan cepat. Dengan demikian “shock time” berlangsung panjang dengan akibat lactic acidosis dan cumulative oxygen debt tinggi dan angka kematian yang tinggi (Damkliang, Jintana, et all. 2014). Dari percobaan Wiggers dan pengembangan resusitasi dengan ringer laktat oleh Tom Shires dan kawan – kawan pada waktu perang Vietnam, terjadi perubahan prognosis berarti Ringer laktat atau cairan berisi Natrium lainnya dapat digunakan untuk mengganti darah yang hilang sampai suatu jumlah tertentu. Kasus – kasus perdarahan adalah sangat bervariasi. Ada berbagai mekanisme kehilangan darah yang pada akhirnya bermuara pada satu kesamaan yaitu syok hipovolemik. Resusitasi cairan cepat dapat mengatasi syok ini dengan cepat atau pada banyak kasus dimana cairan diberikan sejak awal, dapat mencegah terjadinya syok dengan segala konsekwensi metabolik dan biomolekuler yang mengiringinya. Penundaan resusitasi cairan cepat akan sangat merugikan karena membiarkan syok time berjalan lebih lama. Faktor – faktor yang selalu harus dipertimbangkan adalah seberapa lama kita boleh mentoleransi “shock time” dan hal ini tergantung pada fasilitas terapi definitif yang dapat kita siapkan dalam suatu waktu tertentu. Jika shock time diramalkan dapat menjadi panjang, mungkin lebih bijaksana jika kita memberikan resusitasi cairan dini untuk mengurangi atau menghilangkan syok. Batas waktu / golden periode satu jam untuk syok hendaknya menjadi pegagan utama. Yang dapat dipakai sebagai ekspander / substitut volume, selain darah adalah golongan kristaloid dan koloid (Guerrero, Egea et all, 2014). Golongan kristaloid yang paling mirip dengan cairan ektraseluler adalah Ringer laktat. Cairan ini mempunyai kadar – kadar fisiologis sesudah infus, setelah terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar pada pasien dengan kondisi seperti hipovolemi dengan asidosis metabolik, kombustio, sindroma syok, komponen bikarbonat memberikan efek dapar yang dibutuhkan untuk mengatasi asidosis. Larutan garam seimbang lain yang sekarang tersedia dibuat dengan memakai Natrium asetat (Ringer Asetat) sebagai ganti laktat (Brasel, Karen et all, 2008.).

Koloid (Albumin) dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efesien dari pada kristaloid dipasarkan terdapat berbagai macam koloid (Ogilvie, Michael et all, 2010). Penentuan pilihan yang rasional hendaknya berdasarkan fisiologi kompartemen cairan tubuh dan efek berbagai cairan intra vena terhadap masing-masing kompartemen. Penting pula memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam kompartemen kompartemen tersebut pada penyakit dan cedera. Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskuler. Darah dan produk darah seperti albumin menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar. Koloid artifial juga mengandung molekul besar seperti gelatin, dektran atau kanji hidrosietil. Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskuler, koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar dari pada plasma akan menarik pula cairan keruang intravaskuler. Ini dikenal sebagai ekspander plasma sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada yang diberikan (Davis et all, 2012. Guerrero, Egea et all, 2014).



Kesimpulan 

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil. Maka dalam hal ini diperlukan penatalaksanaan resusitasi yang baik untuk mencegah status vegetatif dari pasien dengan cedera kepala. Resusitasi dengan cara penggantian dan pemberian cairan. 

Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan. Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid (Saline) dan cairan koloid (Albumin).


Daftar Pustaka 

Appleby, Ian et all, 2010. Traumatic brain injury: initial resuscitation and transfer. ANAESTHESIA AND INTENSIVE CARE MEDICINE 9:5
Brasel, Karen et all, 2008. Hypertonic Resuscitation: Design and Implementation of a Prehospital Intervention Trial. 2008 by the American College of Surgeons ISSN 1072-7515/08/.Published by Elsevier Inc. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2007.07.020
Davis et all, 2012. What’s new in resuscitation strategies for the patient with multiple trauma? Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 1021–1028
Damkliang, Jintana, et all. 2014. Initial emergency nursing management of patients with severe traumatic brain injury:Development of an evidence-based carebundle for the Thai emergency department context. Australasian Emergency Nursing Journal
Dinh, Michael et al. 2013. Redefining the golden hour for severe head injury in an urban setting: The effect of prehospital arrival times on patient outcomes. Injury, Int. J. Care Injured 44 (2013) 606–610
Franschman et all, 2012. Effects of physician-based emergency medical service dispatch in severe traumatic brain injury on prehospital run time. Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 1838–1842
Guerrero, Egea et all, 2014. UPDATE Resuscitative goals and new strategies in severe trauma patient resuscitation. MEDINE-701; No. of Pages 11
Hall, Catherine et all, 1997. Patient management in head injury care: a nursing perspective Intensive and Critical Care Nursing (I 997) 13,329-337 © 1997 Harcourt Brace and Co. Ltd
R. Shayn Martin and J. Wayne Meredith. Management Of Acute Trauma. Chapter 18
SAFE, 2007. Saline or Albumin for Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic Brain Injury. The new england journal of medicine n engl j med 357;9 www.nejm.874 org august 30, 2007
Teranishi, Kohsuke et all, 2012. Traumatic brain injury and severe uncontrolled haemorrhage with short delay pre-hospital resuscitation in a swine model. Injury, Int. J. Care Injured 43 (2012) 585–593
Harris, Tim et all. 2012. Early fluid resuscitation in severe trauma. doi: 10.1136/bmj.e5752 (Published 11 September 2012)
Ogilvie, Michael et all, 2010. First Report on Safety and Efficacy of Hetastarch Solution for Initial Fluid Resuscitation at a Level 1 Trauma Center. ISSN 1072-7515/10/$36.00. Published by Elsevier Inc. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2010.01.010
Singh, Prakash, et all 2005. Intravenous fluid Considerations in the Resuscitation of a Head Injured Patient. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2005, Vol. 2, No. 2, pp. 87-90

Analisis Literatur Penatalaksanaan Trauma Servikal

Analisis Literatur Penatalaksanaan Trauma Servikal



Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital yang utama pada kejadian trauma tulang belakang servikal yaitu pertama, segera menghubungi ambulan/ perawat emergensi terdekat dengan tempat kejadian. Kedua, selama menunggu perawat emergensi datang lakukan penatalaksanaan primary survey dengan pembebasan jalan nafas, mempertahankan pernafasan pasien, mempertahankan aliran darah ke jantung pasien. Ketiga, lakukan penatalaksanaan immobilisasi pada tulang belakang servikal. Penting untuk memperhatikan trauma tulang belakang servikal dan berhati-hati pada saat menggerakkan pasien, dengan memperhatikan pergerakan dari tulang belakang, hal ini bisa meminimalisir terjadinya trauma lanjutan (ARC, 2012). 

Khusus pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran pertama pertahankan dahulu kepatenan jalan nafas sebelum mengkaji trauma tulang belakang. Untuk mempertahankan jalan nafas perhatikan posisi kepala harus pada posisi netral terhadap trauma tulang belakang servikal seperti jaw trust. Pertahankan posisi leher pasien ditempat datar dan pastikan pasien mempertahankan immobilisasi. Seandainya pernafasan pasien spontan dan cenderung mengalami penurunan kesadaran, lebih baik posisikan kaki lebih tinggi dari jantung sebagai posisi recovery (ARC, 2012, Carpico, 2007).

Pada kenyataannya Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital masih kurang memadai untuk meminimalisir trauma dan dalam studi literatur yang menyebutkan dapat terjadi kerusakan saraf akibat imobilisasi yang kurang tepat. Pada saat melakukan Imobilisasi tulang belakang juga untuk mengetahui risiko yang terburuk bagi pasien dengan trauma tulang belakang servikal dan hal itu dapat memperlama waktu saat melakukan penatalaksanaan immobilisasi menjadikan hambatan ketepatan waktu pengiriman pasien ke rumah sakit. Untuk mengatasi hal tersebut sejumlah teknik imobilisasi tulang belakang yang tepat dapat digunakan yaitu (ARC, 2012. Waninger, 2011) :

Pedoman In-line Stabilisasi

Perawat dapat memberikan stabilisasi manual dengan berdiri di belakang korban dengan berlutut di atas kepala korban yang diterlentangkan. Perawat harus memegang kepala korban, sementara menstabilkannya dengan cara mengunci siku perawat atau beristirahat siku di kepala pasien. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kepala korban dalam posisi netral sejajar dengan tubuh , sehingga menghindari gerakan abnormal secara mendadak. Bila pada pasien dewasa tanpa trauma, bantalan di bawah kepala untuk mengangkat 2cm diatas tingkat tubuh untuk mengoptimalkan posisi kepala sejajar terhadap tulang belakang servikal (Pimentel, 2010. Waninger, 2011).

Penggunaan servical Colar

Penatalaksanaan ini hanya boleh digunakan oleh perawat terlatih karena perawat harus mampu melakukan dengan akurat menentukan ukuran dan ketepatan cara memasang. Bila perawat mampu melakukan dengan tepat dan cepat akan mengurangi waktu yang diperlukan untuk immobilisasi pada fase pre hospital. Penahan yang paling umum digunakan dibuat dari plastik keras , dengan bantalan busa yang lembut , dan dipasangkan pada leher korban untuk menjaga tulang belakang bagian servikal dalam posisi netral dan mencegah pergerakan kepala secara mendadak. Sama halnya pada manual in-line stabilisasi harus dipertahankan kepatenan servical colar (ARC, 2012. Meek, R., McGannon, D., & Edwards, L. 2007).

Spinal boards

Menggunakan sebuah papan kaku ditempatkan di bawah pasien digunakan oleh perawat untuk memindahkan pasien bila diperlukan. Sebelum perawat memindahkan dengan spinal board pasien seharusnya sudah memakai colar brace di tempat kejadian dan hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan pergerakan kepala leher saat perawat memindahkan pasien dengan spinal board (Pimentel, 2010).

Log roll

Menggunakan tehnik manuver dilakukan oleh tim yang terlatih, untuk memindahkan pasien dari posisi telentang ke arah penolong, dan kemudian ditelentangkan lagi, hal ini digunakan untuk memeriksa adanya trauma di tulang belakang atau untuk menempatkan papan spinal board (ARC, 2012).

Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital harus memperhatikan Trauma tulang belakang bagian servikal pada pasien yang sadar maupun yang mengalami penurunan kesadaran memiliki penyulit pada penatalaksanaannya. Sebagai langkah antsisipatif hendaknya perawat bila menemui pasien yang mengalami trauma akibat kecelakaan, jatuh atau pukulan dianggap sebagai penyebab trauma tulang belakang servikal. Ketepatan saat penatalaksanaan dianggap penting agar mengurangi lamanya waktu pada fase pre-hospital, untuk itu perawat emergensi harus memiliki keahlian penanganan pada trauma tulang belakang dengan in-line immobilisasi, pemasangan colar brace, spine boards dan log roll dengan tepat.

Referensi :

Advanced Paediatric Life Support (2011).
Australian Resuscitation Council. 2012. Guideline 9 : management of suspected spinal injury
Brohi, K. 2002. Spine trauma. URL : (5 September 2013) http://trauma.org/archive/spine/cspine-eval.html
Blackham, J., & Benger, J. (2001). Why do we put cervical collars on conscious trauma patient? scanadian journal of trauma 17, 44.
Campbell, Jhon Pe. 2004. Basic Trauma Life Support. New Jersy : Person Prentice Hall
Carpico, B. (2007). Suspected cervical spine injury. Nursing Journal, 37(3), 88.
Davenport,M. 2009 . Fracture cervical spine. (5 September 2013) URL : http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview
Jones, c. (2012). Assessment and Management of a Child with Suspected Acute Neck Injury. Nursing Children and Young People, 24(3), 29-33
Meek, R., McGannon, D., & Edwards, L. (2007). The Safety of Nurse Clearance of the Cervical Spine using the National Emergency X-Radiography Utilization Study low-risk Creiteria. Emergency Medicine Australasia 19, 372-376.
Pimentel, L. (2010). Evaluation and Management of Avute Cervical Spine Trauma Emergency Medicine Clinic, 28(4), 719-738.
Waninger, K. (2011). Cervical Spine Injury Management in the Helmeted Athlete. Current Sports Medicine Reports, 45-49.

Analisis literatur Peningkatan Bystander CPR


Analisis literatur Peningkatan Bystander CPR


Analisis literatur

Banyak data dari penelitian yang telah dilakukan baik dari asia, eropa, dan amerika terkait bagaimana meningkatkan bystander CPR, Menurut Sasson (2013) berdasarkan guidelines AHA 2010 ada empat langkah penting yang terlibat dalam memberikan bystander CPR sebagai bagian dari respon tanggap darurat masyarakat sebagai materi pelatihan bystander CPR. Pertama, penolong harus menyadari bahwa korban membutuhkan bantuan. Early recognition yang dilakukan oleh penolong atau bystander adalah menyadari bahwa korban telah mengalami serangan henti jantung, atau secara sederhananya mengenali bahwa korban membutuhkan bantuan dari Emergency Medical Services (EMS). Kedua, penolong dengan segera harus memanggil nomor akses EMS setempat. Ketiga, panggilan tersebut akan dialihkan ke dispatcher, yang harus mengidentifikasi bahwa serangan henti jantung memamg telah terjadi pada korban dan akan memproses respon EMS yang sesuai. Operator atau dispatcher akan menyediakan instruksi CPR yang memandu penolong untuk melakukan CPR. Untuk selanjutnya, yang keempat penolong akan memulai dan terus melakukan CPR pada korban OHCA sampai bantuan datang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rossler (2013) yang dilatarbelakangi dari sejarah Bantuan Hidup dasar (BLS) sejak 1950, telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan bystander CPR. Meskipun bystander CPR terbukti mampu meningkatkan ketahanan hidup pada pasien dengan henti jantung dengan mengikuti rantai prosedural AHA 2010, namun angka inisiatif dari bystander CPR masih rendah sekitar 20% dari kejadian. Hal ini dari ketidakpercayaan diri dan ketakutan akan terjadi kesalahan pada prosedur CPR. Hal utama dalam penelitian ini adalah penggunaan evaluasi Hand Of Time (HOT) dengan membandingkan peserta yang diberikan algoritma dengan tidak. Hasil yang didapatkan terdapat peningkatan HOT pada peserta yang tidak memakai algoritme, sedangkan pada peserta yang memakai algoritme lebih percaya diri dan memiliki ketepatan prosedural pada penanganan henti jantung. Dari hasil ini dapat menjadi gambaran bagaimana seharusnya pelaksanaan pelatihan dengan menggunakan algoritme saat proses pembelajarn secara periodik agar meningkatkan tingkat percaya diri bystander CPR.

Penilaian awal pada orang yang membutuhkan CPR dengan OHCA harus sering dilatih menuju kearah situasi kritis dengan kemungkinan bertahan yang rendah. Dengan demikian bystander dapat tetap tenang bila melakukan di keadaan nyata dengan keadaan orang yang kritis. Jeda waktu sebelum saatnya pemberian DC shock seharusnya lebih banyak dilakukan CPR oleh bystander yang telah memiliki kemampuan. Ada beberapa pasien yang telah dilakukan CPR dengan keadaan mereka tua, terbanyak wanita, waktu OHCA lama dan terbuang dirumah, banyak ditemukan dengan VF dan banyak waktu terbuang dari perjalanan ambulan. Kesimpulan dari penelitian ini terjadi peningkatan bystander CPR pada OHCA. Bystander CPR telah mendapatkan hasil yang positif pada VF dan peningkatan kemampuan bertahan (nordberg, 2009).

Strategi Penerapan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di japan terkait bagaimana meningkatkan kemampuan dan kemauan dari bystander CPR pada tahun 2011 yang dilakukan di Takatsuki yang dianalisis berdasarkan hasil kejadian dari sistem EMS. Pelatihan bagi bystander CPR harus menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan pada pelatihan CPR. Salah satunya dengan pelaksanaan waktu singkat dan efisiensi pelatihan dengan menggunakan video pembelajaran, manikin orang, atau tempat latihan CPR sederhana seharusnya dapat meningkatkan kemampuan dari bystander CPR. Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan kemauan dari bystander CPR diantaranya panik, takut terjadi kesalahan, malu dan sebagainya (tanigawa, 2011). Pelatihan CPR diharapkan tidak lagi menggunakan metode clasical dengan metode belajar yang hanya 1 arah dan tanpa pengulangan. Bila menggunakan waktu yang singkat harus diimbangi dengan metode belajar yang dapat diulangi lagi dengan media video.

Tehnik dengan metode pembelajaran atau pelatihan dengan memanfaatkan teknologi terkomputerisasi menggunakan media video. Metode ini yang bisa dilakukan sangat bisa untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas adalah melalui program computer-based cardiopulmonary resuscitation (CPR). Program ini telah digunakan oleh National Safety Council (NSC) pada Januari 2000. Program ini berbeda dengan program pelatihan konvensional baik dari metode pelatihan dan pemberian sertifikat. Dengan program computer-based CPR setiap peserta pelatihan dapat mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan di area manapun yang mempunyai koneksi internet, tanpa harus datang ke tempat tertentu. Program pelatihan computer-based ini terbukti menjadi pilihan efektif untuk melatih masyarakat awam tentang CPR (Perkins et al, 2012).Terdapat berbagai hal yang positif dan negatif dari metode sistem pelatihan per area ini. Hasil yang positif dari metode ini masyarakat dapat sangat mudah untuk menentukan tempat dan waktu pelatihan yang akan diikuti. Sehingga memudahkan dalam hal pencarian waktu yang tepat terkait padatnya aktivitas masyarakat. Hasil yang negatif dapat ditemukan perbedaan tingkat kemampuan dari peserta, karena kondisi dari satu area dengan area yang lain berbeda. Namun hal ini dapat diatasi dengan adanya standart yang diberlakukan pada jenis, media dan pelatih yang akan digunakan ditiap area.

Dari gambaran diatas sudah seharusnya Indonesia menerapkan peningkatan pelatihan bagi bystander CPR. Strategi yang dilakukan dengan penyingkatan waktu, efisien terhadap materi, penggunaan media teknologi, dan tepat sasaran pada kelompok tertentu. Saat ini di Indonesia yang belum terlaksana adalah penggunaan teknologi sebagai media pelatihan. Sudah seharusnya beralih dari clasical metode ke modern metode dengan pemanfaatan media elektronik. Penggunaan metode video dapat disesuaikan dengan kemampuan dari bystander CPR, misalnya pada siswa sekolah dengan pemutaran video tentang indikasi henti jantung, harus dibedakan dengan peserta yang dari kalangan pegawai menggunakan video tentang indikasi dan pelaksanaan dan juga harus disertai dengan praktek ke manikin orang atau manikin CPR. Pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan saja belum cukup bila sarana dan prasarana yang disediakan belum mencukupi, hal ini terkait sistem EMS yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik di Indonesia.

Pada tahap evaluasi dari pelatihan atau pun pelaksanaan dari bystander CPR dapat menggunakan sistem HOT (Hand Of Time). Kriteria hasil utama adalah hanya 5 menit HOT pada menikin CPR. Hasil yang kedua adalah mengevaluasi HOT, apakah HOT dilaksanakan pada set pertama pada kompresi dada atau akhir dari pelaksanaan kompresi dada. HOT disini mengindikasikan kurangnya kemauan bystander CPR dalam memberikan pertolongan pada henti jantung. Hal ini bisa dilihat bila pada pertengahan siklus CPR bystander melepaskan tangan sebagai wujud dari lelah, takut mencederai, atau kurang percaya diri dll. Berdasarkan hal ini lah proses pelatihan dapat memfokuskan arti dari HOT agar tetap terjadi recoil dari CPR sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan untuk memberikan oksegenasi pada paru, jantung dan otak (Rossler, 2013).
     
Kesimpulan
Pemberian bantuan hidup dasar (BLS) pada orang yang mengalami henti jantung berupa kompresi dada (CPR) yang dilakukan oleh bystander atau penolong saat menemui adanya serangan henti jantung sangat membantu kemungkinan bertahan hidup korban 2–3 kali lipat. Berdasarkan HIPGABI dalam pelatihanya disampaikan bahwa keterlambatan memberikan BLS dalam 1 menit kemungkinan berhasil 98–100%, 3 menit kemungkinan berhasil 50–100%, 10 menit kemungkinan berhasil 1–100%. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan sekali peningkatan jumlah dan kesiapsiagaan bystander CPR untuk memberikan pertolongan pada korban henti jantung di situasi OHCA. Beberapa program clasical masih dapat dilakukan antara lain penyebaran informasi melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat kerja, maupun sekolah. Program lainnya dengan pemanfaatan teknologi adalah dengan peningkatan keterampilan bystander CPR melalui metode pelatihan modern dengan pemanfaatan video dan e-learning. Hasil yang dievaluasi melalui sistem HOT (Hand Of Time) dengan mengobservasi pelaksanaan bystander CPR. Diharapkan hasil evaluasi dari HOT dapat menurun sehingga tercapai re-coil dinding dada.

Daftar Pustaka

GELS.(2011). Pelatihan GELS (General Emergency Life Support). Medis Teknis Standart. RSU Dr. Soetomo-FK UNAIR Surabaya.

HIPGABI.(2012). Kumpulan Materi Pelatihan Emergency Nursing. Intermediate Level. HIPGABI : Jakarta.

Nordberg, Paul et al. (2009). Aspects on the increase in bystander CPR in Sweden and its association with outcome. Published by Elsevier Ireland Ltd. doi:10.1016/j.resuscitation.2008.11.013

Perkins et al. (2012). Improving the Efficiency of Advanced Life Support Training. Ann Intern Med. 157. p: 19-28.

Rossler, B et al. (2013). Can a flowchart improve the quality of bystander cardiopulmonary resuscitation?. 2013 Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved. http://dx.doi.org/10.1016/j.resuscitation.2013.01.001

Sasson, Comilla et al. (2013). Increasing cardiopulmonary resuscitation provision in communities with low bystander cardiopulmonary resuscitation rates. Circulation.127:1-9. DOI: 10.1161/CIR.0b013e318288b4dd.


Tanigawa, Kayo et al. (2011). Are trained individuals more likely to perform bystander CPR?. Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved. doi:10.1016/j.resuscitation.2011.01.027