Friday, November 29, 2019

Peningkatan Manajemen Resusitasi pada Trauma Kepala

Peningkatan Management Resusitasi 
pada Trauma Kepala : Metode SAFE
(Saline or Albumin Fluid Evaluation)

Peningkatan Management Resusitasi   pada Trauma Kepala
https://pixabay.com/id/vectors/anatomi-otak-penampang-kepala-2027131/


Latar Belakang 
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat dari kontak bentur atau guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepada yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan. Selain itu penyebab yang paling umum adanya peningkatan TIK pada pasien cedera kepala adalah edema serebri. Puncak pembengkakan yaitu 72 jam setelah cedera. Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar. Akibat cedera dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku (Appleby, Ian et all, 2010).

Prinsip-prinsip patofisiologinya pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada cedera kepala, hipoksia atau kerusakan pada otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya metabolik asidosis. Pola pernafasan Cedera kepala yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan gagal nafas yang mengakibatkan laju mortalitas yang tinggi diantara pasien cedera kepala. Kerusakan mobilitas fisik Akibat terjadinya edema dari cedera kepala berat, dapat mengalami perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot, otot spastik. Hemiparese dan hemiplegi sebagai akibat kerusakan pada area motorik otak (Appleby, Ian et all, 2010. Dinh, Michael et al. 2013). 

Keseimbangan hidrasi Hampir semua pasien cedera kepala akan mempunyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi yang seimbang, kondisi ini akan mengurangi kemampuan tubuh berespon terhadap stres. Dalam keadaan stres fisiologi, makin banyak antidiuretik (ADH) makin banyak aldosteron diproduksi yang mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses ini biasanya membaik dengan sendirinya dalam satu sampai dua hari, bila diuresis terjadi. Aktivitas menelan Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah. Kemampuan komunikasi Pasien dengan cedera kepala juga disertai kerusakan komunikasi yang terjadi secara tersendiri melainkan akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa (Appleby, Ian et all, 2010). 

Sebagaimana kita ketahui,sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh. Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukka air, elektrolit serta zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi. Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.

Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Anamnesis lebih rinci tentang : Sifat kecelakaan, Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, Ada tidaknya benturan kepala langsung, Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa (Damkliang, Jintana, et all. 2014. R. Shayn Martin and J. Wayne Meredith). Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. 

Manfaat 
Dari gambaran pada cedera kepala (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan menjadi fokal dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul bersamaan. Alternatif yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer (terjadi sebagai dampak) dan sekunder (munculnya kerusakan neuronal yang menetap, hematoma, pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi). Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya ”autoregulasi”, terbukti adanya vasodilatasi serebral. Setelah cedera kepala, bagaimanapun juga sistem autoregulasi sering tidak sempurna/cacat dan hipotensi bisa menyebabkan efek yang drastis (Appleby, Ian et all, 2010). 

Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edema otak. Pada kondisi normal, cairan tubuh manusia didistribusikan intrasel dan ekstrasel dengan perbandingan yang tetap. Dengan demikian segala kondisi yang dapat merubah komposisi tersebut akan mengakibatkan ketidak seimbangan hemodinamik yang dapat menjadi fatal (Damkliang, Jintana, et all. 2014). 


Saturday, November 23, 2019

Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital

Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital



     Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital
 dengan melaksanakan prinsip manajemen penatalaksanaan trauma tulang belakang harus dilakukan pada semua jenis trauma. Hal ini dapat menurunkan Resiko kesalahan dalam penatalaksanaan trauma tulang belakang pada prehospital, selanjutnya dapat juga mengurangi kejadian trauma lanjutan (Secondary Injury), penyebab dari kesalahan penatalaksanaan ini adalah kesalahan dalam melakukan pergerakan pada pasien yang diduga dengan trauma tulang belakang. Tulang belakang bagian servikal adalah yang paling mudah terkena trauma, hal tersebut dimana terindikasi dari pasien yang mengalami trauma disekitar tulang bahu. Hampir lebih dari setengah pasien trauma tulang belakang mengalami trauma servikal. Pada trauma tulang belakang servikal, kenyataannya bila pasien mengalami penurunan kesadaran, menjadi kesulitan tersendiri bagi penolong karena saat membebaskan jalan nafas kadang tanpa sengaja membuat sedikit pergerakan pada tulang servikal (ARC, 2012). 
Advanced Life Support Group (2011) menyatakan : Hampir untuk setiap mekanisme cedera baik langsung maupun tidak langsung mampu meningkatkan resiko trauma pada tulang belakang yang terutama adalah cedera servikal, sampai terbukti secara klinis maupun diagnostik tidak terdapat cedera. National Institute for Health and Clinical Excelent (NICE) sebagai pedoman untuk mengelola cedera kepala (2007) Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital juga memperhatikan kebutuhan untuk imobilisasi leher pada pasien yang menderita cedera kepala dengan kecurigaan klinis cedera leher (Jones, 2012).
Peningkatan aktifitas sehari-hari membuat masyarakat memilih alat transportasi yang cepat, kendaraan bermotor roda 2 dianggap paling memenuhi kebutuhan akan hal tersebut. Dapat terlihat dari jumlah kendaraan bermotor roda 2 yang ada di jalan raya kota malang melebihi jumlah kendaraan lainnya. Kendaraan bermotor roda 2 mudah untuk digunakan dalam kemacetan dan efisien secara ekonomi, menjadi alasan penulis yang juga menggunakan kendaraan bermotor roda 2 dalam beraktifitas sehari-hari. Peningkatan jumlah pengguna kendaraan bermotor roda 2 ini dibuktikan oleh data dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011 sejumlah 68 juta pengguna yang naik dari 61 juta pada tahun 2010. Data dari Satlantas Polres Malang kecelakaan lalu lintas terbanyak adalah kendaraan bermotor roda 2 dengan 76% dari jumlah kecelakaan pada tahun 2007. 
Menurut Davenport tahun 2009, Sejumlah 5-10% pasien yang mengalami penurunan kesadaran yang datang ke ruang gawat darurat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, disertai dengan trauma tulang belakang servikal.Kemungkinan masalah yang disebabkan oleh tidak tepatnya penerapan penatalaksanaan imobilisasi pada trauma tulang belakang servikal dapat meliputi obstruksi jalan nafas, menghambat kinerja pengaturan pusat pernapasan, rasa sakit dan ketidaknyamanan pada servikal, nyeri kepala dan peningkatan tekanan intrakranial (Benger dan Blackham 2009. Jones, 2012). 
Tanda dan gejala dari cedera tulang belakang servikal dibedakan 2 faktor yaitu : pertama lokasi dari trauma tulang belakang servical dan kedua dari luas trauma pada tulang belakang servical. Meskipu hanya berupa trauma pada tulang belakang atau cedera pada hubungan antar tulang belakang servical, dan walaupun terjadi dengan parsial atau komplit pada trauma tulang belakang servical. Hal itu semua menjadikan sulit untuk mendapatkan tanda dan gejala yang jelas pada pasien dengan trauma tulang belakang servical dengan pasien yang mengalami penurunan kesadaran yang statis (ARC, 2012). 
Ketepatan Penatalaksanaan Trauma Servikal di Pre-Hospital salah satunya Fraktur servikal mayoritas selalu terjadi pada pasien dengan riwayat kecelakaan dengan kendaraan bermotor yang berkecepatan tinggi, trauma pada wajah dan kepala yang menjadi peenyerta dan juga terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma multipel. Gambaran umum adanya fraktur servikal dapat berupa nyeri pada palpasi dari prosesus spinosus di leher posterior, terbatasnya gerakan yang disertai nyeri, adanya kelemahan ekstremitas, rasa kebas, parestesi pada saraf yang terkena. Sulit untuk mengevaluasi secara klinis adanya trauma tumpul servikal. Dari penelitian, kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal berdasarkan pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%, dan 33% pasien  yang tidak terdiagnosis. Karena keterbatasan  dan besarnya morbiditas jangka panjang bila trauma tidak terdiagnosis, pasien dengan trauma tumpul yang komplek dilakukan pemeriksaan radiologi, sampai dieksklusi adanya trauma servikal. Tidak terdiagnosisnya  trauma servikal dapat disebabkan karena tidak dicurigai adanya trauma servikal, gambaran radiologi yang tidak adekuat, dan interpretasi radiologi yang salah (Davenport, 2009 ;Brohi, 2002).
Berdasarkan mekanisme cedera tumpul tulang belakang servikal menurut Campbell,2004 : 1, Hiperektensi, secara mendadak bagian kepala dan leher bergerak kebelakang/ hiperektensi secara berlebihan. 2, Hiperfleksi, secara mendadak kepala bergerak kedepan menjauhi dada/ heperfleksi dengan berlebihan. 3, Kompresi, secara mendadak perubahan tekanan tubuh dari kaki/ bagian tubuh bawah menuju kepala hingga leher mengakibatkan penekanan pada leher atau tulang belakang servikal. 4, Rotasi, secara mendadak pergerakan yang berlebih dari tulang belakang servikal atau kepala dan leher sehingga terjadi pergerakan berlawanan arah dari ruang tulang antar tulang belakang. 5, Penekanan kesamping, pergerakan secara mendadak kesamping yang berlebihan sehingga menyebabkan pergeseran dari tulang penghubung antar tulang belakang servikal. 6, Distraksi, secara mendadak Peregangan tulang belakang servikal yang berlebihan dari ruang antar tulang belakang.


Selanjutnya bagaimana Analisis Literatur Penatalaksanaan trauma servikal
            

Thursday, November 21, 2019

Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknologi


Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknologi
Yang di Evaluasi Dengan Sistem HOT

Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknologi  Yang di Evaluasi Dengan Sistem HOT
https://pixabay.com/id/photos/darurat-jantung-penyelamatan-3016877/

Abstrak

LatarBelakang : Kejadian henti jantung dapat terjadi di waktu dan tempat yang tidak terduga. Terhentinya sirkulasi dan ventilasi jantung  membutuhkan tindakan segera berupa pemberian CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation). Tindakan CPR merupakan upaya pemenuhan oksigen dalam darah melalui pijat jantung dan bantuan nafas baik manual maupun dengan alat bantu. Pelaksanaan tindakan CPR sebagai metode pertolongan pertama kepada henti jantung, dapat dilakukan oleh orang pertama dan terdekat yang memiliki kompetensi pemberian CPR (Bystander CPR). Peningkatan Bystander CPR dilakukan melalui pelatihan CPR khusus awam, metode yang digunakan sebagai media pelatihan dengan pemanfaatan media teknologi. Pelatihan CPR awam memerlukan metode evaluasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas pemberian CPR oleh awam. Evaluasi dengan sistem HOT (Hand of Time) dapat dilakukan sebagai satu metode evaluasi dalam pelatihan Bystander CPR. Peningkatan Bystander CPR Dengan Pemanfaatan Media Teknolog Yang di Evaluasi Dengan Sistem HOT dinilai cukup efektif.

Metode : Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka, sedangkan tujuan penelitian ini mengumpulkan dan menganalisis artikel yang berkaitan dengan Peningkatan Bystander CPR. Cara pengumpulan data dengan database elektronik yang dilakukan oleh EBSCO, Proquest dan clinicalkey dan menggunakan kata kunci CPR and Bystander CPR and HOT. Kriteria dari articlets diterbitkan pada periode 2005-2014.

Hasil : Penyebarluasan pendidikan publik dan peningkatan ketrampilan masyarakat tentang CPR bisa meningkatkan jumlah bystander CPR di kalangan masyarakat. Sehingga ketika menjumpai pasien dengan henti jantung, masyarakat dapat segera siap siaga untuk mengenali tanda dan gejala pasien dan segera memberikan penanganan CPR sambil menunggu pertolongan dari rumah sakit datang. Dengan begitu dapat berpengaruh pada peningkatan survival rate dari pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (OHCA).

Kesimpulan : Beberapa program clasical masih dapat dilakukan antara lain penyebaran informasi melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat kerja, maupun sekolah. Program lainnya dengan pemanfaatan teknologi adalah dengan peningkatan keterampilan bystander CPR melalui metode pelatihan modern dengan pemanfaatan video dan e-learning. Hasil yang dievaluasi melalui sistem HOT (Hand Of Time) dengan mengobservasi pelaksanaan bystander CPR. Diharapkan hasil evaluasi dari HOT dapat menurun sehingga tercapai re-coil dinding dada.

Kata Kunci : Bystander CPR, Media Pelatihan, Evaluasi system HOT


Latar Belakang

Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki cadangan oksigen. Pada keadaan gagal nafas karena obstruksi atau ketidakmampuan paru berekspansi maka oksigen dalam paru akan habis dalam waktu 1,5–2 menit dan sementara tidak ada oksigen yang masuk, maka metabolisme tubuh memanfaatkan oksigen darah yang akan habis dalam waktu 4–5 menit, kemudian jantung berhenti dan beberapa detik kemudian otak mengalami kerusakan irreversible. Jantung dan Otak adalah dua organ fital manusia, bila kedua organ ini tidak mendapatkan oksigen maka akan terjadi kematian sel (GELS, 2011. HIPGABI, 2012). 
Kehabisan oksigen dalam paru dan dalam darah dapat berlangsung lebih cepat lagi bila ternyata keadaan pasien sudah dalam keadaan hipoksia sebelumnya. Berdasarkan hal ini kebutuhan oksigen bagi tubuh sangat penting terutama untuk memanjangkan waktu pemakaian oksigen, oleh karena itu diperlukan resusitasi pada jantung, paru dan otak. Tindakan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) adalah terjemahan dalam bahasa indonesia, namun yang sering dipakai adalah Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR). Tindakan CPR ini merupakan gambaran pemenuhan oksigen dalam darah melalui pijat jantung dan bantuan nafas baik manual maupun dengan alat bantu.

Indikasi yang jelas pada keadaan henti nafas lalu henti jantung pada keadaan yang perlu bantuan hidup dasar. Tujuan dari pemberian bantuan hidup dasar ini adalah mencegah berhentinya sirkulasi, memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi. Tindakan bantuan hidup dasar ini adalah bagian dari CPR 2012. Guideline CPR 2010 saat jantung mungkin belum berhenti sama sekali, mungkin jantung masih berdenyut tetapi lemah dan mulai melambat (severe bradycardia) diharapkan jantung sudah dipijat cukup berdasarkan pemeriksaan pasien tidak sadar dan tidak bernafas. Bantuan tindakan ini harus segera dilakukan pijat jantung (chest compression) sebelum 5 menit jaringan otak terlanjur menjadi rusak dan irreversible, bahkan kalau terpaksa dilakukan pijat jantung saja tanpa nafas bantuan (chest compression-only CPR). 
Tindakan bantuan hidup dasar ini boleh dilakukan oleh orang awam, siapa saja yang telah mendapatkan pelatihan bantuan hidup dasar. Diwajibkan segera meminta bantuan untuk kemudian dapat dilanjutkan oleh tenaga ahli dengan pemasangan alat bantu jalan nafas atau intubasi, monitoring EKG, pemberian obat serta penggunaan defibrilator.

Dalam 3 dekade terakhir angka kematian banyak di sebabkan karena artery coronary disease saat diluar Rumah Sakit secara tiba-tiba dan hampir 50.000 kejadian henti jantung terdokumentasi tiap tahun di japan. Angka kematian henti jantung diluar RS (OHCA) adalah kasus klinik yang menjadi salah satu terpenting. Hal ini menjadi dasar tindakan resusitasi pada kejadian OHCA yang tergantung dari inisiasi awal CPR dan defibrilasi dan CPR oleh bystander seharusnya dapat meningkatkan peluang hidup bagi pasien. Meskipun efektifitas dari Bystander CPR masih diragukan, sebenarnya CPR oleh bystander harus dirutinkan. 
Data dari penelitian sebelumnya yang mengindikasikan Pelatihan CPR mampu meningkatkan kesediaan untuk melakukan CPR dan ini ikut meningkatkan angka pertolongan oleh bystander CPR. Untuk meningkatkan bystander CPR, unsurnya dari memfokuskan pelatihan CPR dan meluaskan program pelatihan CPR setiap 1.620.000 orang per tahun di japan. Walaupun begitu, banyak data menunjukkan efektifitas dari pelatihan CPR dievaluasi dari pertunjukan kemampuan CPR atau Kebenaran dalam melakukan CPR dan sedikit dari efektifitas itu dari kemampuan penolong pada keadaan emergensi atau pada pasien dengan OHCA (tanigawa, 2011). Dari gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan sebenarnya kejadian henti jantung dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Hal ini yang mendasari harus dibentuknya bystander CPR sebagai penolong pertama pada keadaan henti jantung. Tentunya pembentukan bystander CPR ini melalui pelatihan secara rutin dan pemilihan bystander sesuai dengan kemampuan dan kemauan.

Manfaat
Masyarakat yang telah mendapatkan pelatihan CPR memiliki peningkatan kemauan melakukan CPR dari pada yang belum mendapatkan pelatihan (tanigawa, 2011). Hasil dari penelitian di japan ini dapat menjadi realita masyarakat yang telah memiliki kemampuan melakukan CPR akan memiliki kemauan untuk menolong bila ada dalam keadaan ada orang yang mengalami henti jantung. Tentunya tidak semua masyarakat diberikan pelatihan CPR tapi harus memiliki sasaran masyarakat untuk pendidikan publik dan ketrampilan CPR dapat ditujukan untuk masyarakat di tempat-tempat umum (bandara, stasiun, terminal, pasar), anak sekolah maupun di tempat kerja.

Harapannya, dengan penyebarluasan pendidikan publik dan peningkatan ketrampilan masyarakat tentang CPR bisa meningkatkan jumlah bystander CPR di kalangan masyarakat. Sehingga ketika menjumpai pasien dengan henti jantung, masyarakat dapat segera siap siaga untuk mengenali tanda dan gejala pasien dan segera memberikan penanganan CPR sambil menunggu pertolongan dari rumah sakit datang. Dengan begitu dapat berpengaruh pada peningkatan survival rate dari pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (OHCA). Pelaksanaan bantuan hidup dasar pada henti jantung memiliki prosedural yang sesuai dengan guideline AHA 2010 diantaranya penilaian awal apakah terjadi henti jantung, mengaktifkan EMS, tindakan dini pelaksanaan CPR, dan segera defibrilasi bila ada indikasi. Bystander CPR yang telah mendapatkan pelatihan BLS/ bantuan hidup dasar akan melaksanakan secara otomatis prosedural tindakan penanganan henti jantung.


Wednesday, November 20, 2019

PENGALAMAN PERAWAT DI PREHOSPITAL KOTA MALANG

PENGALAMAN PERAWAT


STUDI FENOMENOLOGI : PENGALAMAN PERAWAT DI LINGKUNGAN TEMPAT KEJADIAN TRAUMA AKUT DI PREHOSPITAL


Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja. Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi korbannya. Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera. Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus tetap menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.

Setiap  pre-hospital care system yang efektif harus mempunyai sistem element dan administrasi yang terprogram. Ketika dibutuhkan, EMS atau satu pelayanan publik yang penting di sebuah negara seharusnya digunakan dan diperkuat, dengan masukan dari pemimpin dan anggota masyarakat itu sendiri. Ada Berbagai model sruktur prehospital care system. Sistem yang terpilih haruslah memperhitungkan faktor lokal dan juga sumber daya yang ada. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal.

Departemen Kesehatan akan segera mengkoordinasikan kepada 118 sebagai sekolah pelatihan akademi untuk paramedis. Sebagai hasil dari ini mereka akan dapat langsung merekrut lulusan SMA, memastikan sejumlah besar profesional paramedis akan tercipta. Hal ini akan juga meningkatkan profil pelatihan paramedis dan ambulans layanan serta mudah-mudahan meningkatkan standar pelatihan yang mereka terima. Program seperti ATLS dan ACLS meningkat di Indonesia. Sebuah langkah yang diusulkan dalam hal perawatan pre-hospital adalah untuk memperkenalkan program MIMMS untuk memberikan pelatihan dalam mengorganisir sumber medis ditempat kejadian (pitt, pusponegoro. 2005).

Tujuan utama pre-hospital di Indonesia adalah untuk membentuk organisasi trauma tersistem regionalisasi nasional dan ambulans sistem dengan komunitas yang terkoordinasi dan efektif berdasarkan sistem SPGDT. Mereka yang terlibat dalam pengembangan perawatan pre-hospital melihat harus ada koordinasi sumber daya dan pengalaman yang tersedia saat ini, dan mengembangkan pelatihan khusus yang akan diakui secara internasional untuk meningkatkan standar keseluruhan perawatan pre-hospital di Indonesia. Indonesia tertarik untuk membawa standar yang disepakati secara internasional dan pelatihan ke dalam sistem perawatan pre-hospital (pitt, pusponegoro. 2005).

Beberapa kendala kendala yang dihadapi Negara Indonesia ini dikarenakan beberapa faktot diantaranya luasnya wilayah, keanekaragaman budaya, perkembangan negara dan juga ketidak-stabilan situasi politik dan ekonomi. Keadaan di indonesia dengan luasnya wilayah dan keterbatasan sumber daya membuat masyarakat menjadi aset yang berharga apabila dapat digunakan. Dengan adanya masyarakat yang terlatih, korban dapat menerima perawatan pada saat-saat yang penting tanpa harus menunggu petugas yang terlatih untuk datang. Dengan berbagai keadaan yang kurang mendukung Pre-Hospital Care system seperti keadaan geografis, kondisi keuangan pemerintah. Sarana-prasana yang ada dan hal lainnya, dibutuhkan sebuah Pre-Hospital Care system yang sesuai untuk dijalankan di Indonesia sehingga dapat berjalan dengan optimal.

Ada banyak tantangan yang dihadapi termasuk budaya penerimaan, luas wilayah geografis, lalu lintas, jumlah memadai ambulans, dan akses ke sumber daya yang berkualitas pelatihan. Baru-baru ini telah ada sejumlah mendorong perkembangan termasuk menyiapkan bencana brigade respon, penyediaan yang lebih baik dari ambulans, dan pengembangan pelatihan paramedis. Sebuah rumah sakit dan pra-rumah sakit sistem regionalisasi nasional yang terintegrasi mungkin tampak fantastis tetapi dengan antusiasme mereka yang terlibat dan mungkin beberapa bantuan dari negara-negara dengan akses ke pelatihan sumber daya yang tidak mungkin tujuan yang tidak realistis (Pitt, Pusponegoro. 2005). Menurut temuan dalam penelitian ini masyarakat memiliki keyakinan pada personel ambulans tentang pengetahuan, kemampuan untuk membuat penilaian dan memberikan perlakuan meskipun faktanya mereka belum diperbarui pada kompetensi saat ini. Pasien percaya bahwa mereka akan menerima perawatan oleh dokter lebih cepat di departemen darurat jika mereka tiba dengan ambulans, terlepas dari kondisi medis. Selanjutnya masyarakat di County Skåne memiliki pengalaman kontak positif dengan layanan ambulans (blomstedt. 2012). Hasil dari penelitian ini dapat menjadi dasar bagi perawat untuk membuat gambaran tentang tingkat kepuasan dari pasien terhadap penggunaan EMS pada penatalaksanaan pre-hospital.

Sebagai perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat harus segera tanggap terhadap pre-hospital care karena di RS Bhayangkara yang menjadi paramedis ambulance adalah perawat IGD. Persepsi perawat terhadap pre-hospital care akan berdampak terhadap kualitas pelayanan paramedis. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi penglihatan, penciuman, pendengaran serta pengalaman masa lalu. Jadi persepsi menurut Bennet (1987) adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, melalui indera dan tiap-tiap individu dapat memberikan arti yang berbeda. Ini dapat dipengaruhi oleh : (1) tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, (2) faktor pada pemersepsi atau pihak pelaku persepsi, (3) faktor obyek atau target yang dipersepsikan dan (4) faktor situasi dimana persepsi itu dilakukan. Dari pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan. Ada variabel lain yang dapat menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu.

Persepsi paramedis dari peran mereka dalam kaitannya dengan pre-hospital. Studi ini memperkuat komitmen paramedis untuk memberikan layanan pre-hospital berdasarkan kualitas, bukti, pertimbangan etis dan kesempatan unik untuk paramedis untuk memberikan pengobatan yang sangat dini untuk pasien sejak dari tempat kejadian. Meskipun begitu, ada kekhawatiran dari paramedis tentang kurangnya keterlibatan dalam proses perubahan, remunerasi untuk meningkatkan tanggung jawab dan tidak adanya sertifikasi nasional. Keterlibatan aktif dari paramedis dalam mengoperasionalkan perubahan layanan penting untuk memastikan pelaksanaan yang efektif dan untuk mempromosikan rasa kepemilikan oleh mereka memberikan perawatan pasien di 'front line'.

Dengan pembentukan paramedis sebagai tenaga kesehatan terdaftar profesional, didukung oleh pendidikan tinggi, itu menjadi semakin penting bagi gambaran dan praktek kerja yang menjadikan identitas yang lebih positif untuk masa depan (cox et al. 2006). Berdasarkan penelitian kualitatif tersebut menggambarkan persepsi perawat dipre-hospital tentang pemberian pelayanan tindakan medis di situasi pre-hospital di negara bagian tenggara inggris.

Referensi :

ARISAN SEBAGAI MEDIA PENGURANGAN RESIKO BAHAN BERBAHAYA PESTISIDA

ARISAN SEBAGAI MEDIA PENGURANGAN RESIKO BAHAN BERBAHAYA PESTISIDA BERBASIS KOMUNITAS KELOMPOK PETANI (POKTAN)



ARISAN SEBAGAI MEDIA PENGURANGAN RESIKO BAHAN BERBAHAYA PESTISIDA BERBASIS KOMUNITAS KELOMPOK PETANI (POKTAN)



Latar belakang : Pengunaan pestisida dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan produktifitas hasil pertanian, akan tetapi dibalik itu semua terdapat resiko atau ancaman dalam penggunaannya resiko keracunan pestisida baik akut ataupun kronis. Pendidikan dan pelatihan merupakan komponen penting dari upaya komprehensif untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan tempat kerja pertanian.Penelitian ini bertujuan mengetahui pengurangan dampak pestisida pada petani.

Metode : Metode survey digunakan untuk pengamatan indikator mengenai angkapengurangan resiko pestisida pada pertanian adalah jawaban yang diberikan oleh responden baik secara lisan maupun tertulis. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis diskriptif.

Hasil : Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 42% petani keracunan pestisida. Dampakpenggunaan pestisida lain diantaranya dermatitis paparan kimia (27%), efek pernafasan (18%), , katarak traumatika (9%), dan abrasi bahan kimia (4%).

Kesimpulan : Masalah keracunan pestisida, terjadinya masalah pernafasan, dermatitispaparan kimia, katarak trumatika dan abrasi bahan kimia merupakan dampak penggunaan pestisida. Petani diharapkan dapat lebih memperhatikan metode atau cara penggunaan dan pengurangan pestisida dan peran dari perawat atau Occupational Health Nursing (OHN) di bidang pertanian harus ditingkatkan.



Referensi :